Selasa, 31 Maret 2009

Akhirnya...

Tidak tahu mengapa malam itu Naya gelisah. Dia ingin sekali menelpon Didi yang ada di luar kota. Laki-laki yang sudah dua tahun berbagi suka dan duka dengannya. Naya memandang foto wisuda mereka berdua, telpon rumahnya bordering.
“Assalamu’alaikum”, Naya mengangkat telpon.
“Wa’alaikumsalam, Naya ya?”, suara di seberang menjawab. Naya sudah sangat hafal dengan suara itu, suara yang selalu dirindukan, milik orang terkasih, Didi/
“Mas Didi ya, tumben telpon, biasanya juga aku yang telpon, aku kangen mas, tiba-tiba aku tadi gelisah banget, aku tadi rencana mau telpon mas Didi, tapi keburu mas yang telpon duluan, gimana kabarnya?”
“Baik dik Naya, ada yang ingin aku sampaikan”
“ Emang ada pa? serius banget mas, kok kayaknya ada yang berubah, nggak seperti biasanya”
“Dik,aku nggak mau bertele-tele, to the point aja ya, kalau kamu nunggu aku sukses pasti lama, aku nggak tahu kapan kita bisa nikah, sebaiknya kita udahan aja”
“Tapi mas, aku kan nggak pernah minta kita segera menikah kan, aku juga masih ingin sukses dalam karirku dulu”
“Tapi aku udah nggak bisa melanjutkan hubungan kita lagi, maafkan aku”. Naya tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia shock, tidak ada angin, tidak ada hujan, tapi mengapa ada petir yang menyambar dihatinya. Ada butiran lembut yang mengalir dari kedua matanya yang indah. Naya tidak bisa menahan air matanya untuk keluar. Tidak menyangka hubungan yang dilalui selama dua tahun ini tiba-tiba kandas dengan alasan yang kurang masuk akal bagi Naya.
“Hallo, hallo…”, suara Didi di seberang tidak di jawab lagi oleh Naya karena hatinya telah hancur berkeping-keping mendengar keputusan Didi yang mendadak dan sangat mengejutkan itu. Akhirnya telpon ditutup.
Naya masih merasa alasan Didi untuk mengambil keputusan pisah kurang masuk akal. Naya ingat dulu ketika masih kuliah di tempat yang sama, Didi pernah mengatakan tidak mungkin bisa menjalin hubungan jarak jauh. Apa mungkin karena itu, tapi ketika Naya kembali ke kota asalnya mengapa saat itu Didi mendukung, piker Naya. Tapi dari situ, Naya mulai mencoba untuk memahami keputusan Didi. Suatu ketika Naya mencoba menanyakan Didi lewat sms, apakah itu masalahnya, dan apakah ada wanita lain, ternyata benar. Naya menangis lagi, apalagi ketika tahu siapa wanita itu. Clara, nama wanita itu, wanita yang dulu juga pernah hadir di hati Didi. Yang membuat Naya semakin sedih, dia ingat Didi pernah berjanji, ketika sudah pisah dengan seseorang dia tidak akan kembali ke orang tersebut, tapi kenyataannya? Justru Didi menjalin hubungan lagi dengan Clara di saat jauh dari Naya, di saat Naya selalu percaya bahwa Didi adalah laki-laki yang setia. “Mas, mengapa kamu selingkuh? Mengapa lebih memilih Clara dan ninggalin aku?”, Naya hanya bisa menangis, hanya itu yang bisa di alakukan.
Ingin rasanya Naya menghujat mereka berdua, Didi dan Clara karena perselingkuhan itu, tapi apa gunanya? Toh Didi tidak mungkin akan kembali lagi kepadanya, jarak mereka terlalu jauh. Mungkin Clara memang lebih bisa menjaga Didi, mereka berada di kota yang sama, setiap hari bisa bertemu, berbeda dengan Naya, bisa menemui Didi ketika libur panjang, hanya enam bulan sekali, apalagi ketika liburan kemarin, Didi ditugaskan ke Jakarta. Mereka tidak bertemu sama sekali, sampai putus pun hanya lewat telpon. Mungkin itulah jalan hidup Naya, setelah lulus kuliah dia kembali ke kota asalnya dan bekerja di sekolah tempat dia dulu menuntut ilmu atas permintaan ibunya. Naya bersyukur, lulus kuliah tanpa menunggu, langsung bisa menggunakan ilmunya di tempat yang dekat ibunya untuk bekerja, tetapi dia besedih karena harus kehilangan orang yang sudah dua tahun berbagi suka dan duka dengannya.

***
Sejak saat itu, Naya membenci laki-laki. Naya menganggap semua laki-laki sama, suka selingkuh. Setiap didekati laki-laki, Naya membenci laki-laki tersebut. Alasannya Cuma satu, laki-laki hanya akan membuatnya menangis. Cintanya yang tulus kepada orang pertama menjadi kekasihnya dikhianati. Tapi Didi bukan cinta pertamanya, cinta pertamanya adalah Tama, laki-laki yang selalu hadir ketika Naya sedang dilanda kesedihan. Tidak tahu darimana Tama tahu, tapi selalu tiba-tiba hadir ketika Naya butuh seseorang. Tama adalah laki-laki yang hanya selalu bisa dikagumi oleh Naya semenjak SMP, di saat Naya belum mengenal cinta, dia sudah bisa merasa saling mengagumi, demikian juga Tama, hanya bisa mengagumi Naya, tapi perasaan kagum itu tidak pernah terjalin dalam suatu hubungan yang lebih serius. Keadaan tidak pernah berpihak kepada mereka berdua. Seperti halnya saat itu, di saat Tama bisa memberikan perhatian kepada Naya, dan mereka sama-sama sendiri, keadaan berkata lain, Tama harus study di Jakarta untuk mempersiapkan keberangkatannya bekerja di negeri Sakura. Musnah harapan Naya untuk mereguk sedikit kebahagiaan bersama Tama dan bisa melupakan Didi. Menangis tetap menjadi makanan Naya sehari-hari. Apalagi ketika Tama akan berangkat ke luar negeri, karena dia merasa tidak akan ada lagi perhatian dari Tama. Memang mereka bisa saling telpon atau kirim email, tapi apa artinya kalau raga tidak bisa saling bersua, tiga tahun bukan waktu yang cepat. Naya tidak akan mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya dengan menjalin hubungan jarak jauh. Memang ketika berjauhan, Naya merasa Tama lebih setia dibanding Didi, Tama lebih setia menghubungi lewat telpon atau hanya sekedar sms di tengah-tengah kesibukannya. Tapi siapa yang tahu hati laki-laki? Naya masih menyimpan sakit dan trauma menjalin hubungan jarak jauh. Sendiri lebih asyik bagi Naya.
***
“Nay, ikut aku yuk…”
“Kemana Sam, aku lagi lihat karnaval TK nih, lucu-lucu”
“Ke SMA, sebentar kok, mau pinjam laporan penilaian sekolah, mau nggak?”
Tidak tahu ada kekuatan dari mana, Naya mengikuti ajakan Sam, padahal selama ini ketika dibonceng laki-laki Naya tidak pernah amu karena rasa setianya ke Didi, tapi Didi sudah bukan miliknya lagi. Saat itu, Naya tidak mempunyai pikiran apa-apa ke Sam, wajar saja Sam mengajaknya, mereka teman sekantor, yang dikunjungi juga sekolah mereka dulu. Tempat yang dulu pernah member kenangan indah bersama-sama teman-temannya semasa SMA. Sepulang dari SMA, ketika masih di jalan, Naya bertanya kepada Sam
“Sam, kamu kok ngajak aku ke SMA kenapa, bukan orang lain?”
“Nggak papa, toh kamu juga mau, emang nggak boleh ya?
“Nggak papa kok, ya sudah”
***
“Nay, ada kiriman dari Pasuruan buat kamu, dari camer ya?”
“Makasih, nggak kok Sam, mantan camer, aku sudah putus sama anaknya”
“Isinya apa? Peningset ya? Atau mas kawin?”
“Nggak, Cuma baju, sudah aku bilang, akus udah putus, tapi ibunya mantanku tetap baik, masih ngirim baju buat aku, ibunya saying aku, tapi anaknya mutusin aku”
“Emang kenapa putus?”
“Biasa, laki-laki kan nggak bisa setia, selingkuh…”
“Nggak semuanya, Nay”
“Buatku semua laki-laki sama, brengsek, suka selingkuh dan buat aku nangis”
“Kamu kok menyimpulkan seperti itu?”
“Sudahlah Sam, semua laki-laki sama, akui saja”

***
Ternyata obrolan Naya dan Sam berlanjut, tiada hari tanpa sms-an. Naya memang gila sms, karena hanya itu yang bisa menemani sepinya.
Kebetulan Naya ditugaskan pada kegiatan sekolah bersama Sam. Tidak tahu kebetulan darimana, tapi dari situ Sam menunjukkan ketertarikannya pada Naya. Gadis sederhana yang pendiam dan tidak banyak tingkah. Di luar tugas itu, Sam tetap mau membantu tugas Naya, maklum sedang PDKT. Hati wanita mana yang akhirnya tidak tersentuh dengan perhatian dari seorang laki-laki di saat dia merindukan seseorang yang bisa mengisi hari-harinya.
“Nay, kemarin malam aku mau mampir ke rumahmu kok pintunya ditutup.”
“Kamu nggak bilang Sam kalau mau mampir, rumahku memang selalu tutup setelah Maghrib, kalau mau ke rumah bilang dulu, telpon atau sms, kalau sudah di depan rumah sms, baru aku buka pintunya. Habis Maghrib ibuku minta pintu rumah selalu di tutup, aku di rumah sendiri, ibuku ke musholla, habis Isya baru pulang. Mungkin ibuku takut aku diculik, he…he…”
“Kayak presiden saja, Nay”
“Emang gitu Sam, emang kamu dari mana kok lewat depan rumah?”
“Pijat, kalau capek aku selalu pijat di dekat rumahmu”

***
Dua hari sekali Sam ke rumah Naya. Naya sempat heran, kekasih bukan, tapi kok sering ke rumah. Naya selalu senang menerima kedatangan Sam karena ada yang selalu menemani malam-malamnya yang selama ini selalu sepi.
Semenjak putus dengan Didi, Naya memang kurang peka terhadap perhatian laki-laki. HP Naya berbunyi, ternyata dari Sam, tapi setelah dibuka tidak ada isinya. Kemudian, naya mengirimkan sms kepada Sam.
“Sam, kamu sms apa, kok nggak ada apa-apanya, kosongan, kayak buang pulsa saja”
“Aku kirim gambar, masak nggak nyampai di HPmu?”
“Kamu lupa apa menghina, HPku kan primitive, ya nggak mungkin bisa menerima gambar dari HPmu, emang kamu kirim gambar apa?”
“Gambar dua merpati yang saling memadu kasih, aku dikirimi temanku, tak kirim ke kamu”
“Kok dikirim ke aku?”
“Emang nggak boleh ya?”
“Ya aneh saja, lagian sudah tahu HPku jelek, dikirimi gambar bagus, ya nggak sampai”
“Aku pikir masuk, emang kamu nggak ngerasa Nay?”
“Ngerasa apa?”
“Ya sudah, anggap nggak ada apa-apa Nay”
“Kok gitu Sam, jangan marah dong, yang jelas, ada apa?”
“Aku sayang kamu.” Naya tidak membalas sms Sam lagi, tidak tahu harus menjawab apa lagi. Di satu sisi, Naya masih trauma menjalin hubungan dengan laki-laki, tapi tidak dipungkiri, Naya merasa bahagia dengan kehadiran Sam yang mengisi kekeringan hatinya selama ini.

***
Sejak saat itu hubungan Naya dan Sam terjalin begitu saja, mengalir bagaikan air, tanpa ada perkataan sayang lagi dari Sam, dan tidak ada jawaban dari Naya. Tapi mereka merasa saling menyayangi dan memilki, tidak tahu mulai kapan perasaan mereka mulai menyatu, terjalin tanpa perkataan yang jelas, tapi mereka bahagia. Orang menganggap mereka sebagai sepasang kekasih, dan mungkin itulah yang terjadi. Hubungan yang membuat mereka bahagia. Sampai suatu ketika ada sesuatu yang membuat hubungan mereka merenggang.
“Sam, ada orang yang suka sama aku dan kayaknya serius”, kata Naya.
“Kamu gimana?”
“Aku nggak mau Sam, tapi kayaknya ibu suka”
“Kenapa kamu nggak mau, ibu kan sudah setuju”
“Nggak sreg aja”, tapi dalam hati Naya bilang, aku kan sudah punya kamu Sam, aku sayang kamu, masak kamu nggak ngerti, ya nggak mungkin aku mau dengan orang itu.
“Terus bagaimana kita?”
“Ya nggak gimana-gimana, tetap jalan, tapi untuk sementara kamu jangan sering ke rumah dulu ya, nggak papa kan? Biar suasananya tenag dulu.”
“Ya sudah nggak papa”
Dalam hati Naya mengatakan, “Maafkan aku Sam, sebenarnya aku tidak rela kamu jarang ke rumah lagi, tapi katanya kakakku aku harus jaga perasaan ibuku, jadi untuk sementara kita tahan rindu kita untuk jarang ketemu di rumah, tapi kiat masih bisa ketemu di sekolah.”
Ternyata perkataan Naya itu akhirnya membuat hubungan mereka semakin merenggang. Tapi semua sudah terlanjur, Naya hanya bisa menyesali apa yang dikatakan kepada Sam pada saat itu, karena akhirnya Naya merasakan ada sesuatu yang sedikit demi sedikit menghilang, rasa sayang Sam kepadanya. Menangis lagi, itu yang hanya bisa Naya lakukan setiap rasa rindunya kepada Sam hadir. Tapi mereka tetap mengusahakan untuk bertemu. Cinta tidak bisa bohong.

***

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

yang mau kasih komentar, silahkan yach...

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda